MENOLAK SI TITIN


MENOLAK SI TITIN
(Sebuah Kiat)

Cerita pendek (cerpen) saya yang berjudul TITIN BARIDIN ditolak oleh Harian Umum Kompas untuk dimuat di kolom sastranya. Suatu hal yang biasa sebenarnya dan sudah dipahami betul bagi saya sebagai penulis pemula. Hal yang paling saya kagumi dari redaktur Kompas adalah profesionalitas mereka. Yaitu pemberitahuan penolakan tersebut kepada si penulis yang tidak memakan waktu lama. Dalam kasus saya cuma dalam waktu dua minggu saya sudah tahu keputusannya.
Pemberitahuan ini jarang sekali dilakukan oleh redaktur harian yang lainnya. Sehingga terkadang penulis harus menunggu berminggu-minggu bahkan sampai tiga bulan untuk mengetahui karyanya dimuat atau tidak. Bahkan sama sekali tidak diberitahu. Walaupun ditolak, sebenarnya pemberitahuan itu penting agar penulis bisa mengirimkannya ke media lainnya dengan cepat tanpa lebih lama menunggu.
Sebagaimana saya mengirimkan cerpen di atas kepada Kompas melalui surat elektronik (email) Kompas memberitahukan penolakan pemuatan itu juga melalui media yang sama. Isinya adalah: “Maaf cerpen Anda tidak sesuai dengan Kompas.”
Sempat terpengaruh juga dengan penolakan tersebut. Tapi saya tepis segera kemasygulan itu dan menghibur diri saya sendiri. Masih banyak media lain yang bisa saya kirimi. Pun, kalaupun tidak bisa tembus juga, karya saya yang sudah dibaca banyak orang di kalangan internal sudah patut untuk disyukuri. Tinggal membuat karya-karya lain yang lebih baik dan lebih baik lagi.
Tidak berputus asa di sana. Saya mengirimkan cerpen tersebut untuk mengikuti seleksi cerpen yang akan dibahas di diskusi bulanan Forum Lingkar Pena (FLP) Pusat, Ahad, 26 Agustus 2007. Dari banyak cabang seperti DKI Jakarta, Depok, Ciputat, dan Bekasi mengirimkan masing-masing cerpen unggulannya. Alhamdulillah, cerpen saya yang ditolak Kompas itu masuk nominasi untuk diikutkan di diskusi tersebut. Cerpen saya itu adalah salah satu dari lima cerpen unggulan yang mewakili FLP Depok.
Total cerpen yang dibahas sebanyak dua puluh cerpen. Salah satu judul cerpen menjadi kaver dari kumpulan cerpen yang akan dibahas—biasanya yang dianggap terbaik oleh penyusun kumpulan tersebut. Judulnya adalah Perempuan yang Digoda Malam. Milik salah satu cerpenis dari FLP Depok.
Aturan main dalam pembahasan tersebut adalah pembahas akan mengulas satu persatu cerpen tersebut, mengulas bagus dan jeleknya karya itu. Lalu pada sesi terakhir akan diumumkan cerpen siapa yang dianggap terbaik oleh pembahas mulai nomor urut satu sampai terakhir. Tentu dengan penilaian yang subyektif dan berdasarkan pengalaman yang dimilikinya. Kali ini sebagai pembahas adalah Irfan Hidayatullah, Dosen Sastra Universitas Padjadjaran, Bandung, kolumnis majalah Annida, dan mantan Ketua FLP Pusat.
Saat, Kang Irfan—biasa dipanggil demikian—membahas cerpen TITIN BARIDIN, ia memberi judul pembahasannya sebagai berikut: “Lokalitas dan Logika Kalimat”. Tentu banyak kritikan yang saya dapatkan, terutama masalah fokus cerita dan tidak detil dalam penggambaran kemelaratan keluarga Baridin. Kritikan itu saya terima dengan lapang dada.
Singkat cerita, setelah membahas kumpulan cerpen tersebut, Kang Irfan dengan parameter penilaian berupa “keahlian penulis cerita pendek untuk mengubah atau meramu teks menjadi konteks” maka menobatkan cerpen saya TITIN BARIDIN sebagai cerpen terbaik pada diskusi karya hari itu. Mengalahkan cerpen Perempuan yang Digoda Malam dan cerpen berjudul Bukan Dongeng Biasa yang diunggulkan sekali oleh teman-teman di FLP Depok.
“Lokalitasnya kental,” komentar Kang Irfan, “yang benar-benar cerpen,” lanjutnya lagi. Hasil ini, kata Koko Nata, mantan Ketua FLP Depok, menegaskan lagi bahwa daya lokalitas seringkali memberikan penilaian lebih terhadap suatu cerpen. Karena cerpen terbaik di diskusi bulan Juli lalu dengan pembahas Mbak Helvy Tiana Rosa adalah juga cerpen yang mempunyai lokalitas kental, berjudul: Membasuh Megatruh.
Penobatan ini bagi saya adalah sebuah apresiasi yang patut saya syukuri. Tentunya saya tidak bisa untuk cepat berpuas diri. Lalu tenggelam dalam lautan pujian yang seringkali melenakan dan mematikan kreativitas. Masih banyak yang harus saya lakukan untuk bisa memberikan yang terbaik.
Lalu ada pelajaran yang bisa saya petik dari sebuah kegagalan yang bermula dari Kompas yang menolak si “Titin”, yaitu Sebuah kegagalan akan menjadi kesuksesan ketika kita tidak mudah untuk berputus asa. Ini, bagi saya, adalah sebuah kiat untuk mengatasi keterpurukan mental dari sebuah penolakan. Pula semuanya bermula dari membaca, membaca, membaca, dan berkarya.
Allohua’lam bishshowab.

Riza Almanfaluthi
dedaunan di ranting cemara
setelah dimarahin boss besar
11:09 27 Agustus 2007

3 thoughts on “MENOLAK SI TITIN

  1. heh, gak boleh lho mbuat cerita fiksi/nonfiksi.

    meskipun gak ada unsur-unsur sihirnya, tapi gua mau tanya, dimana ayat yang nunjukin bahwa kita dilarang membuat karya imajinasi tentang sihir.

    ayolah men, itu hanya karya, hanya imajinasi. seperti mimpi, tidak sungguhan. hanya orang yang menganggap sihir itu ada adalah orang yang ketinggalan jaman, katrok, gak jelas. HARI GGEEEEENE?

    Like

  2. heh, gak boleh lho mbuat cerita fiksi/nonfiksi.

    meskipun gak ada unsur-unsur sihirnya, tapi gua mau tanya, dimana ayat yang nunjukin bahwa kita dilarang membuat karya imajinasi tentang sihir.

    ayolah men, itu hanya karya, hanya imajinasi. seperti mimpi, tidak sungguhan. hanya orang yang menganggap sihir itu ada adalah orang yang ketinggalan jaman, katrok, gak jelas. HARI GGEEEEENE?

    wes gak atek akhi-akhian

    Like

Tinggalkan Komentar:

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.